Belum Ada Judul (bagian 1)

Wednesday, May 23, 2012

~*~ Pernikahan ~*~

    Malam ini, hampir seluruh orang yang ada di rumah sedang sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Di dapur, ibu-ibu sibuk menyiapkan masakan untuk esok hari.
Di ruang tengah, tiga orang wanita, Kak Farah, Syifa (kakak dan adikku), dan Amel (saudari sepupuku dari Mang Udin, adik dari almarhum Bapak), tengah sibuk mengelapi piring serta sendok untuk acara esok. Di ruang depan, beberapa pria tengah asyik merangkai daun kelapa muda untuk dijadikan janur kuning yang akan menghiasi rumah ini. Di kamar Syifa, tengah tertidur lelap dua bocah imut anak dari Kak Farah dan Syifa. Sementara itu, di depan rumah Mang Udin dan Pak Le Jamal (adik dari mama) tengah sibuk mengecek ulang acara yang akan berlangsung esok. Semua orang memang benar-benar tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sementara aku, berdiam diri di kamar. Sebenarnya ingin sekali aku membantu mereka, namun ibu-ibu bilang hal itu tabu untuk dilakukan oleh seorang calon manten (pengantin).
   Yah, esok adalah hari yang sangat aku nantikan dan mendebarkan bagiku. “Semoga semuanya dapat berjalan dengan lancar. Insya Allah, aamiin…” gumamku dalam hati kecilku ini.
    Aku coba memejamkan mata ini, namun tidak bisa juga. “ah… ini kan foto pernikahan milik Kak Farah? …” gumamku kemudian ketika aku melihat bahwa di meja samping tempat tidurku tergeletak sebuah album foto yang besar. “Yah, siapa tahu bisa membuat mataku lelah” pikirku kemudian. Lalu, aku pun meraih album itu dan kembali terjaga. Ku buka lembar demi lembar album itu. Di sana, terlihat mama dan Almarhum bapak tampak sangat bahagia bersanding mendampingi Kak Farah di pelaminan. “Ya Allah… andai bapak bisa mendampingiku esok, alangkah bahagianya diri ini.” Lirihku dalam hati. “Malam itu, pasti Kak Farah juga merasakan kegusaran sepertiku saat ini” pikirku sejenak ketika melihat foto Kak Farah yang tengah bersanding dengan Mas Iwan, suaminya. Tak lama kemudian rentetan kisahku akan masa lalu pun muncul.

~~ o ~~

   Pagi itu, Kak Farah sedang duduk tenang dirias oleh perias pengantin pesanannya.
“Kak, awas jangan ngantuk, entar bedaknya nggak rata lho…” godaku padanya.
“Apa sih… ganggu aja nih. Dah sana, mending bantu-bantu yang lain nyiapin Prasmanan gih !” seru Kak Farah sewot.
“Waduw… calon manten kok sewot gitu ya? Awas calon suaminya balik lagi lho …” godaku lagi. Kami memang sering sekali bercanda untuk mencairkan suasana biar tidak membosankan.
“Ssst … jangan ngomong gitu ah… Kakak takut nih… omongan itu kan do’a.” ujarnya.
“Iyah… iyah… makanya, senyum dong… biar Mas Iwannnya tambah pangling sama calon istrinya ini.” Rayuku kemudian. Tak lama senyum pun tersembul dari bibirnya.
“Nah… gitu dong…. Kan tambah cantik Kakakku ini.” Candaku. Kemudian aku berlalu menuju dapur untuk membantu ibu-ibu tetangga memasak. Di sekitar rumahku memang seperti ini, kalau ada salah satu tetangganya yang akan melaksanakan pesta, maka tetangga yang lain akan membantu dengan senang hati. Aku dan keluargaku tinggal di sebuah kota yang cukup nyaman buat kami untuk tinggal, kota dimana Almarhum Bapak dilahirkan, yakni cirebon.
“Bu, ada yang bisa aku  bantu?” Tanyaku pada salah seorang ibu yang tengah sibuk dengan sayuran dan pisau di tangannya.
“Udah, nggak usah ngurusin dapur, mending kamu siap-siap dirias saja, calon manten nggak boleh terlalu capek.” Ujarnya yang tidak menengok ke arahku saat aku menanyakan pertanyaan itu.
“Bu… aku bukan calon manten kok…” ujarku sembari duduk di sampingnya.
“Eh… Ya Allah… kamu toh Nis, tadi ibu kira kamu itu Si Farah, Ya udah, kamu bisa potongin sayuran-sayuran itu untuk dibuat Capcai nggak?” ungkapnya kaget ketika meyadari bahwa sebenarnya aku yang menawarkan bantuan itu.
   Yah, menurut orang, aku dan Kak Farah memiliki suara yang hampir sama. “namanya juga saudara kandung.” Gumamku manakala ada orang yang mengatakan hal itu padaku. Namun, yang berbeda dari kami adalah cara kami berpakaian. Kak Farah lebih nyaman dengan rambutnya yang tergerai indah tanpa jilbab, sedangkan aku lebih memilih untuk menutupi rambutku dengan jilbab. Namun, kami tidak pernah mempermasalahkan hal itu, karena Kak Farah memang sangat mengerti aku.
    Lalu, aku pun langsung mengerjakan permintaan ibu tadi untuk memotong sayuran yang memang sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari. Maklum, di rumah kami tidak memanfaatkan jasa pembantu rumah tangga. Kami dari kecil memang dididik untuk mandiri, apalagi kami bertiga adalah anak perempuan yang memang mau tidak mau harus bisa mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan harian rumahan seperti itu.
   Tak lama, terdengar suara mama yang sudah cantik dengan kebaya dan sanggulnya memanggilku dari dalam dengan logat Jawanya yang kental. “Nis… Nisa, ndok… mana bocah iku?... Ndok… (Nis... Nisa, neng ... mana ya anak itu?... neng?...)” mama mendekatiku yang sedang memotongi sayuran bersama ibu tadi.
“E… alaaaah…. Dicari-cari kok ana ning kene toh? Sana, giliran kamu buat dirias!” perintah Mama.
“Bu, maaf yah, Nisa harus masuk dulu.” Izinku pada Ibu tadi.
“Eh.. iya Nis, nggak papa biar Ibu yang lanjutin motongnya. Dah, sana kamu masuk aja.” Jawab ibu tersebut.
“Makasih ya bu… Mari…” pamitku. Kemudian, aku segera menuju kamarku yang dijadikan tempat merias para Pagar Ayu.
“Dik, bisa lepas jilbabnya dulu? Biar gampang diriasnya.” Perintah Ibu rias yang sudah siap dengan pembersih muka di tangannya.
“Bu, tapi bisa kan nanti aku pakai jilbab lagi?” tanyaku spontan.
“Bisa… tapi, kamu pakai sendiri yah… masalahnya ibu belum mahir memvariasi jilbab dengan kebaya.” Kata ibu tersebut.
“Insya Allah aku bisa sendiri kok bu.” Tegasku karena memang kebetulan aku pernah melihat beberapa cara memvarisai jilbab di majalah muslimah langgananku dan sekarang saatnya untuk mempraktekkannya. “semoga hasilnya bagus…” gumamku dalam hati.
    Sementara di sebelahku, Desi, hampir selesai mengenakan kebayanya. Dia tampak sangat cantik, maklum dia memang orang Jawa asli, dia adalah anak dari Pak le Jamal, saudara ibu yang memang berasal dari keluarga Jawa, tapi bukan keturunan keraton.
“Des, koe ayu tenan pake kebaya itu.” Ungkapku yang memang pangling melihatnya mengenakan kebaya seperti itu.
“Ndak ko, biasa aja. Nisa juga pasti cantik kalo pake kebaya.” Dia memang orang yang sangat rendah hati, pemahaman agamanya juga lumayan bagus bahkan bisa dikatakan melebihi aku, namun sayangnya belum diikuti dengan keinginannya untuk menutupi diri dengan jilbab. “Yah… semoga hidayah Allah segera menghampirinya.” Do’aku tiap kali mengingat kelebihannya itu.
“Ndok, hari ini kamu lepas aja dulu jilbabnya yah… liat tuh Desi, dia cantik kan pake kebayanya? soalnya nggak pake jilbab. Yah…” seru mama dari luar.
“Ndak bu, pake jilbab juga bisa tetep ayu. Banyak kan selebritis kita yang memadupadankan jilbab dengan kebayanya ketika mengahadiri pesta-pesta teman selebritisnya yang lain? Ujar ibu rias membelaku. “Alhamdullillah … ada yang membelaku.” Syukurku dalam hati.
“Ow … gitu yah? Ya sudah kalo begitu mama mau temenin Kakakmu dulu yah.” ujar Mama setelah mendengar penjelasan ibu rias tadi.
“Iya mah…” ujarku.
   Kami berdua memang sering sekali mempermasalahkan keputusanku untuk berjilbab sejak kelas dua SMP itu. Saat ini aku masih belajar di SMA kelas tiga, dua bulan lagi ujian.
“Udah adik tenang aja… ibu yakin, adik pasti tetap cantik dengan mengenakan jilbab bersama kebaya ini.” Sahut Ibu rias mencoba menghiburku yang mungkin terlihat murung setelah perselisihan kecil tadi.
“Iya bu, makasih…” sahutku padanya. Lalu beliau melanjutkan kembali merias wajahku dengan alat rias yang ada di tangannya.
“Andai Mama bisa sebijak Ibu rias ini.” Lirihku dalam hati.

~~ o ~~

“Kak, kita nempatin bagian apa Kak?” Tanya Syifa dan Amel yang juga telah siap dengan kebaya mereka. Saat itu mereka masih duduk di kelas satu SMA. Mereka tampak seperti anak kembar, bahkan karena mereka satu sekolah di SMA yang sama, mereka sering tertukar nama. Banyak teman Syifa yang memanggil Amel dengan namanya, dan begitu juga Amel, tak jarang  teman-temannya memanggil Syifa kepada dirinya. Mereka satu angkatan, maka sudah tidak aneh lagi banyak orang-orang yang salah panggil pada mereka.
“Emmm … kalian nempatin bagian terima tamu aja, kan kalian belum tentu bisa menata meja prasmanan , ya kan?” ujar Desi mencoba membantuku. Aku dan Desi telah siap juga dengan kostum pagar ayu kami. Aku hanya mengangguk dan tersenyum pertanda setuju dengan apa yang sudah diutarakan Desi tadi.
    Terdengar suara gamelan Jawa mengalun dengan syahdu dari arah luar. “Duuhh … kenapa yah, mesti degung begini, memangnya nggak bisa diganti dengan musik lain yah? Kaya Gambus atau Sholawatan gitu?” gerutuku pelan mendengar musik yang menurutku kurang bisa diterima telinga yang sudah terbiasa dengan musik-musik riang seperti Gambus dari Group Balasyik Jember dan sholawatan dari Hadad Alwi dan Sulis.
“Namanya juga hajatan, pasti ada degung kaya gini toh Nis…?” ujar Desi yang mendengar  gerutuanku tadi. “Lagian gamelan juga salah satu alat musik yang digunakan oleh Para Wali dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa ini, ya kan?” sambungnya mencoba mengingatkanku bahwa musik asli Jawa ini juga turut serta dalam menyukseskan syiar Islam di pulau Jawa ini.
“Iya bu ustadz… makasih ya atas penjelasannya… tapi gratis kan?” candaku padanya.
Nisa iki ono-ono wae toh… (Nisa ini ada-ada aja yah...)” ujarnya dalam logat Jawa yang kental.
    Di luar, Bapak dan Mama tampak telah siap menyambut kedatangan rombongan Mas Iwan. Bapak tampak gagah dalam setelan sorjannya dan Mama tampak sangat elegan dengan kebaya keemasannya. Mereka memang sangat serasi. “Semoga aku juga dapat mendapatkan pasangan yang seperti Bapak untuk Mama.” Gumamku bangga melihat keserasian mereka.
    Tak lama, suara gamelan pun berhenti karena rombongan keluarga Mas Iwan telah sampai di rumah kami. Mas Iwan tampak sangat gagah dengan setelan Jas-nya. Mas Iwan adalah orang Bandung asli. Mas Iwan kenal dengan Kak Farah setelah Kak Farah sering kali bertemu dengannya untuk bimbingan skripsi. Mas Iwan adalah dosen muda di universitas Kak Farah di Bandung. “Beruntungnya Kak Farah, lulus dari kuliah dia langsung dapat jodoh seperti Mas Iwan, ibarat pepatah mengatakan sekali gayuh dua tiga pulau terlampaui, selain Kak Farah mendapatkan ilmu, Kak Farah juga mendapatkan dosen yang telah membagikan ilmu kepadanya. Heh…. Indahnya….” Bisikku dalam hati melihat apa yang sedang ku lihat saat itu.
    Beberapa saat kemudian acara akad nikah pun dimulai. Pak Le Jamal selaku MC (Master of Ceremony) saat itu membuka acara itu dengan bacaan Ummul Qur’an. Lalu, setelah itu acara demi acara pun berlangsung dengan lancar sesuai dengan yang diharapkan keluarga kami. “Alhamdulillah…”ucapku manakala acara ijab qobul itu selesai.
  Acara kemudian dilanjutkan dengan ramah tamah atau resepsi pernikahan yang dimulai dari pukul 10.00 hingga jam 09.00 malam. Kami mulai sibuk menghidangkan masakan yang sudah disiapkan ibu-ibu sejak tadi pagi.
“Mangga bu…” ucapku sembari memberikan piring dan peralatan makan lainnya kepada para tamu undangan yang datang. Sementara Desi tengah sibuk mengisi ulang lauk-lauk yang hampir habis di meja prasmanan itu.
   Acara ramah tamah pun terus berlangsung hingga adzan maghrib pun berkumandang di surau dekat rumah kami. “untung aku lagi ada  tamu, jadi tidak usah pusing memikirkan sholat.” Ujarku dalam hati tiap kali adzan terdengar dari surau tersebut. Makin larut, para tamu undangan pun makin berjubal. Maklum ini adalah pertama kalinya keluarga kami melaksanakan sebuah acara selametan seperti ini. Hampir semua rekan kerja bapak dan mama hadir untuk memberikan doa mereka. Bahkan tidak jarang beberapa dari mereka yang cukup akrab dengan keluarga kami menyindirku dengan pernyataan-pernyataan yang bagiku sangat menggelikan untuk ditanggapi, seperti: habis ini, Nisa nyusul yah?, atau kapan nih giliran Nisa?, atau Nisa sudah ada calon belum, buruan nyusul Kakakmu. Dan aku hanya mengucapkan satu kalimat: iyah… doakan saja ya… Om … Tante…
   Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku dari kesibukanku melayani para tamu undangan. “Nok, serius temen yah?... (Neng, serius banget yah?...)” sahut Fariz dalam bahasa Cirebonnya. Dia adalah temanku dari kecil, kami selalu sekolah di tempat yang sama. Dia salah satu dari kelompok teman kecilku yang terdiri dari enam orang, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Namun, sejak kami melanjutkan sekolah menengah di tempat yang berbeda, kami jarang sekali kumpul bareng seperti dulu.
Eh… sampeyan Riz, yuk mangga mangan seanae yah... (Eh... kamu Riz, ayo silahkan makan seadanya yah...)” Jawabku dalam bahasa Cirebon juga. “Sendirian aja? Ga bawa gandengan tah?” tanyaku menggodanya.
“Bawa… nih di belakang. Dia sepupuku, kebetulan lagi main ke rumah, jadi aku ajak aja ke sini, itung-itung neraktir makan gratis. Hehe…” sahutnya sembari memperkenalkan sesosok laki-laki yang ada di belakangnya. Dia menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku. Namun aku hanya melipatkan tanganku di depan badanku. Dan dengan segera dia pun melakukan hal yang sama.
“Haqi…” ujarnya kemudian. Lalu aku membalasnya dengan menyebutkan namaku, “Nisa...”.
“Dia sekarang kuliah di Bandung, semester pertama.” Jelas Fariz kemudian. Tampak Haqi begitu bangganya diperkenalkan sedang kuliah di Bandung.
“Ow … gitu yah?” sahutku sedikit kesal dengan tingkah sepupu Fariz tersebut. “Silahkan menikmati makanan dari Cirebon seadanya.” ujarku kemudian sembari menyodorkan peralatan makan kepadanya.
“Terima kasih, Nis.” Ucapnya sedikit menggodaku. “Ih… amit-amit aku dapat jodoh kaya dia.” Gumamku dalam hati menanggapi tingkah Haqi tadi. Acara pun terus berlangsung hingga pukul sembilan malam.

~~o~~
   Senyum pun menyembul di wajahku tatkala mengenang kejadian itu. Tampak di dalam foto, Kak Farah didampingi dengan Mas Iwan, Bapak, Mama, Syifa,dan aku. Bapak dan mama tampak sangat bahagia melihat anak pertamanya telah menikah. Namun, tak terasa air mataku menetes di tepi kelopak. "Senyum bapak tidak mungkin terlihat di album pengantinku nanti." (lirihku dalam hati). Kenangan pun kembali mengalir mengingat kejadian yang menimpa keluarga kami beberapa tahun silam.
(bersambung ke bagian 2)

Related Post

Next
Previous
Click here for Comments

0 comments: